Kamis, 10 Mei 2012

Benteng Van der Wijk

 

Benteng Van Der Wijck adalah benteng pertahanan Hindia-Belanda yang dibangun pada abad ke 18. Benteng ini terletak di Gombong, sekitar 21 km dari kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, atau 100 km dari Candi Borobudur, Magelang.
Nama benteng ini diambil dari Van Der Wijck, yang kemungkinan nama komandan pada saat itu. Nama benteng ini terpampang pada pintu sebelah kanan.
Benteng ini kadang dihubungkan dengan nama Frans David Cochius (1787-1876), seorang Jenderal yang bertugas di daerah barat Bagelen yang namanya juga diabadikan menjadi nama Benteng Generaal Cochius.

  Jika anda berkunjung ke Kebumen, tidak ada salahnya anda singgah sejenak ke objek wisata sejarah yakni benteng Van der Wijck. Lokasinya yang cukup dekat dari jalan utama/raya Kebumen -Yogya, yakni sekitar 300 meter, amatlah sayang jika dilewatkan begitu saja. Benteng kuno dengan dominasi warna merah ini cukup menyolok diantara bangunan lain, namun tersamar dari jalan utama mengingat gerbang masuk lokasi wisata ini cukup jauh dari pintu gerbang benteng. Disediakan kereta api mini yang siap mengantarkan pengunjung dari gerbang utama mengelilingi objek wisata bersejarah ini
Anda tidak usah kuatir bahwa berada dilokasi objek wisata sejarah ini, nantinya hanya akan disuguhi bangunan kuno yang cenderung membosankan dan kurang diminati anak-anak. Beberapa sarana permainan anak-anak telah dibangun disekitar benteng seperti perahu angsa, kincir putar dan berbagai macam permainan anak lainnya. Tak ketinggalan juga sebuah patung dinosaurus raksasa ikut dibangun untuk meramaikan suasana dan lebih mengakrabkan dengan dunia anak-anak. Bahkan sebuah stasiun kereta api mini dibangun dibagian atas benteng tepat diatas gerbang utama,  memungkinkan pengunjung untuk mengitari sisi atas benteng dengan menggunakan kereta mini.
 
Didalam benteng itu sendiri pengunjung bisa melihat beberapa foto dokumentasi seputar bentuk asli bangunan benteng saat ditemukan dan tahap-tahap pemugaran yang telah dilakukan terhadapnya.
 Ruangan-ruangan bekas barak militer, asrama, pos jaga bisa dilihat didalam benteng dan semuanya boleh dibilang dalam keadaan rapi dan bersih. Hanya saja sebuah papan pengumuman yang ditempel dibagian luar benteng berisi "Sebelum masuk benteng sebaiknya anda berdoa sejenak menurut kepercayaan masing-masing", sempat menimbulkan kerutan didahi saat membacanya karena berkesan seram. Mungkinkah pernah terjadi hal-hal diluar nalar yang menimpa pengunjung saat berada didalam benteng, seperti kesurupan ?

Benteng Van der Wijck sebenarnya dibangun pada awal abad 18 atau sekitar tahun 1820-an, bersamaan meluasnya pemberontakan Diponegoro. Pemberontakan ini ternyata sangat merepotkan pemerintah kolonial Belanda karena Diponegoro didukung beberapa tokoh elit di Jawa bagian Selatan. Maka dari itu Belanda lalu menerapkan taktik benteng stelsel yaitu daerah yang dikuasai segera dibangun benteng. Tokoh yang memprakarsai pendirian benteng ini adalah gubernur jenderal Van den Bosch. Tujuannya jelas sebagai tempat pertahanan (sekaligus penyerangan) di daerah karesidenan Kedu Selatan. Pada masa itu, banyak benteng yang dibangun dengan sistem kerja rodi (kerja paksa) karena ada aturan bahwa penduduk harus membayar pajak dalam bentuk tenaga kerja. Tentu saja cara ini membuat penduduk kita makin menderita apalagi sebelumnya gubernur jenderal Deandels punya proyek serupa yaitu jalan raya pos (Anyer � Penarukan, sepanjang l.k. 1.000 km), juga dengan kerja rodi.
Dilihat dari bentuk bangunan, pembangunannya sezaman dengan benteng Willem (Ambarawa) dan Prins Oranje (Semarang � kini sudah hancur). Pada awal didirikan, benteng dengan tinggi tembok 10 m ini diberi nama Fort Cochius (Benteng Cochius). Namanya diambil dari salah seorang perwira militer Belanda (Frans David Cochius) yang pernah ditugaskan di daerah Bagelen (salah wilayah karesidenan Kedu). Nama Van der Wijck, yang tercantum pada bagian depan pintu masuk, merupakan salah seorang perwira militer Belanda yang pernah menjadi komandan di Benteng tersebut. Reputasi van der Wijck ini cukup cemerlang karena salah satu jasanya adalah membungkam para pejuang Aceh, tentunya dengan cara yang kejam.
Pada zaman Jepang, benteng ini dimanfaatkan sebagai barak dan tempat latihan para pejuang PETA.
Dilihat dari fisiknya, bangunan yang luasnya 3.606,62 m2 ini sudah mengalami renovasi yang cukup bagus. Sayangnya renovasi ini kurang memperhatikan kaidah konservasi bangunan bersejarah mengingat bangunan ini potensial sebagai salah satu warisan budaya (cultural heritage)